5Wbqwau2kOV5juVOA2hBfHMJlvj5fbu4dzeTiTvH
Bookmark

Tentang Berbagai Objek Mettā

Tentang Berbagai Objek Mettā


Lawan Jenis sebagai Objek Mettā

Ada orang yang tidak boleh dijadikan objek dari meditasi mettā yang spesifik. Lawan jenis hendaknya tidak dijadikan objek dari meditasi mettā yang spesifik karena pemeditasi bisa merasakan nafsu alih-alih mettā.
Ada sebuah cerita menarik yang disebutkan dalam Visuddhimagga. Di Sri Lanka, ada seorang laki-laki yang sungguh-sungguh ingin berlatih meditasi mettā. Ia bertanya kepada seorang bhikkhu, yang setiap hari datang ke rumahnya untuk melakukan pindapatta, bagaimana cara berlatih meditasi mettā. Bhikkhu tersebut memberitahunya untuk mengembangkan mettā terhadap orang yang paling dicintainya.

Pada malam harinya, laki-laki itu duduk dengan tenang untuk berlatih di kamarnya dan ia memikirkan objek meditasi yang paling dicintainya. Terlintas dalam pikirannya bahwa istrinya adalah orang yang paling dicintainya. Maka ia memancarkan mettā terhadap istrinya yang sedang tidur di kamar sebelah.

Ketika ia mengembangkan mettā selama beberapa menit, nafsu timbul dalam batinnya sehingga ia bangkit dan melangkah ke kamar istrinya, namun ia lupa bahwa pintunya terkunci, sehingga ia harus menggedor-gedornya. Dengan mengacu pada kisah ini, lawan jenis hendaknya tidak dijadikan objek dari meditasi mettā yang spesifik, tetapi boleh dijadikan objek dari meditasi mettā yang tidak spesifik. Ketika Anda sudah mahir dalam praktik meditasi mettā, Anda boleh mengembangkan mettā terhadap lawan jenis.

Seorang Musuh sebagai Objek Mettā

Seorang wanita yang berprofesi sebagai pengawas di sebuah bank mendapat cuti selama tiga bulan, jadi ia datang kemari untuk berlatih meditasi Vipassanā selama dua bulan. 

Setelah berlatih Vipassanā selama dua bulan , ia mulai berlatih meditasi mettā. Setelah berlatih mettā selama dua minggu, konsentrasinya berkembang dengan sangat baik. Ia merasa bahagia, tenang, dan damai. Batinnya menjadi jernih, tenang, lentur, dan mudah diarahkan. Oleh karena itu, saya menganjurkannya untuk mengembangkan mettā terhadap seseorang yang dianggap sebagai musuh. Ia teringat pada atasannya yang selalu mencari-cari kesalahannya. Wanita itu benar-benar tidak menyukai atasannya tersebut. Jadi, saya menyuruhnya mengembangkan mettā terhadap atasannya itu. Ia berusaha untuk merasakan cinta kasih terhadapnya dengan mempraktikkan meditasi mettā. Dalam sesi wawancara keesokan harinya, ia melaporkan bahwa ia telah berhasil mengembangkan mettā terhadap atasannya itu, yang dianggapnya sebagai seorang musuh. 

Wanita itu pulang setelah berlatih meditasi mettā selama sebulan. Seminggu kemudian, ia datang lagi kemari dan menceritakan keberhasilan latihannya. Setibanya ia di rumah, saudaranya memberitahu bahwa atasannya datang berkunjung ke rumah beberapa hari sebelumnya dan menanyakan tentang kesehatan dan latihan meditasinya. Sebelumnya, atasannya tidak pernah melakukan hal seperti itu. Ketika ia pergi ke kantor, sikap atasannya benar-benar telah berubah dan tidak lagi berusaha mencari-cari kesalahannya. Jadi, ia menyimpulkan bahwa ini adalah hasil dari meditasi mettā yang telah ia lakukan selama sebulan. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa ketika seorang pemeditasi menjadi terampil dalam praktik mettā, ia akan berhasil mengembangkan cinta kasih terhadap seorang musuh.

Orang yang telah Meninggal sebagai Objek Mettā

Orang yang telah meninggal hendaknya tidak dijadikan objek dari meditasi mettā yang spesifik. Visudhimagga menyebutkan jika Anda mengembangkan cinta kasih terhadap orang yang telah meninggal, Anda tidak dapat mencapai baik konsentrasi akses maupun konsentrasi absorpsi. Disebutkan juga sebuah kisah tentang seorang bhikkhu muda yang mengembangkan mettā terhadap bhikkhu pembimbingnya yang bermukim di sebuah biara yang jauh. Bhikkhu muda tersebut tidak mampu mencapai konsentrasi dalam meditasinya. Kemudian, ia pergi menemui seorang bhikkhu senior yang merupakan seorang Arahat yang tinggal di dekat biaranya dan bertanya mengapa ia tidak dapat mencapai konsentrasi dalam meditasinya meskipun ia sangat terampil dalam meditasi mettā. Bhikkhu senior tersebut menyuruhnya untuk pergi menemui objek meditasinya itu. Maka bhikkhu muda itu pergi ke biara di mana pembimbingnya menetap, namun, ia mendapati bahwa pembimbingnya telah meninggal dunia. Ia kemudian memahami bahwa itulah alasan mengapa ia tidak bisa mencapai konsentrasi. Ia kemudian memilih orang lain sebagai objek meditasi mettā dan dengan mudahnya ia mencapai konsentrasi absorpsi (jhana).

Yang Hendaknya Dijadikan Objek Pertama

Kemudian kita harus tahu siapa yang hendaknya dijadikan objek pertama dari meditasi mettā pada tahap awal latihan. Visudhimagga menyebutkan sebagai berikut:

Pertama-tama, mettā harus dikembangkan hanya pada diri sendiri, dengan berulang kali mengucapkan, "Semoga saya bahagia dan terbebas dari penderitaan", atau, "Semoga saya terbebas dari permusuhan, penderitaan, dan kecemasan serta hidup dengan bahagia".[1]

Jadi, pertama-tama, sebagai contoh, ia hendaknya memenuhi dirinya sendiri dengan cinta-kasih. Setelah itu, agar dapat melanjutkan dengan mudah, ia dapat mengenang kembali pemberian-pemberian , kata-kata yang baik, dsb., yang dapat membangkitkan cinta kasih dan rasa sayang; serta kebajikan, pelajaran, dsb., yang dapat membangkitkan rasa hormat dan kekaguman yang dijumpai dalam diri seorang guru atau seorang pembimbing, dengan mengembangkan cinta kasih terhadap orang tersebut dengan cara mengucapkan,"Semoga orang baik ini berbahagia dan terbebas dari penderitaan". Dengan orang seperti itu sebagai objek, tentu saja, ia akan mencapai pencerapan.[2]


(Bersambung - Metta Bhavana: Meruntuhkan Rintangan)

--

Diterjemahkan dari Mettā-Bhāvanā oleh Y.M. Chanmyay Sayadaw

[1] Jalan Pemurnian, bab 9, paragraf 8.
[2] Jalan Pemurnian, bab 9, paragraf 11.