Sayadaw memberi perumpamaan seperti seorang yang ingin menyeberangi
sebuah kanal yang berada diantara dua ladang dengan menggunakan jembatan
dari sebatang bambu. Penyeberang tersebut haruslah berhati-hati dan
melangkah dengan sangat berhati-hati, satu langkah dalam satu tarikan
napas, sehingga dia tidak terjatuh ke kanal. Yogi haruslah seperti penyeberang
tersebut, harus melakukan setiap gerakan dengan perlahan-lahan sehingga
dapat melihat proses yang terjadi seperti apa adanya.
Pada saat
yogi melakukan pengamatan terhadap gerakan mengembungnya (kembung) dan
mengempisnya (kempis) dinding perut, gerakan tersebut harus diamati dari
awal sampai akhir. Jika yogi dapat berperhatian penuh (menjaga sati)
pada gerakan kembung dan kempis secara berkesinambungan, barulah yogi
dapat melihat proses sebagaimana adanya, yaitu fenomena timbul dan
tenggelam. Jadi pengamatan yang yogi lakukan bukan hanya pengamatan yang
dangkal, melainkan pengamatan yang tepat, akurat pada saat proses
tersebut terjadi.
Begitu juga, dengan cara yang sama, saat yogi
melakukan meditasi jalan. Yogi harus memperhatikan gerakan kaki sejak
kaki diangkat sampai kaki diturunkan. Pikiran harus difokuskan secara
terus menerus pada gerakan kaki, dengan demikian yogi akan dapat melihat
tahap-tahap gerakan kecil yang timbul dan tenggelam.
Saat yogi
melakukan perubahan posisi, misalnya dari posisi meditasi duduk ke
posisi berdiri, semua gerakan yang terjadi harus diamati dengan
semaksimal mungkin. Begitu juga saat perubahan dari berdiri ke berjalan,
maupun saat melakukan kegiatan sehari-hari (makan, membungkuk, membuka
pintu, minum, dsb.), semua kegiatan harus diamati secara
berkesinambungan. Bahkan, ketika yogi berkedip, dia harus menyadarinya
dan mengamatinya. Itulah yang dimaksud dengan selalu berperhatian penuh
secara berkesinambungan. Semua ini akan mengembangkan konsentrasi
(samādhi).
Sayadaw ingin menceritakan kisah seorang bhikkhu yang
pandai dalam Tipitaka yang bernama Pothila. Pada jaman Sang Buddha, ada
seorang bhikkhu yang tidak hanya sangat pandai dalam Tipitaka tetapi juga
dalam mengajarkannya. Namun demikian, setiap kali beliau bertemu dengan
Sang Buddha, beliau selalu disapa sebagai bhikkhu yang kosong (tidak
berguna). Setelah merenungkan sapaan Sang Buddha, beliau menyadari bahwa walaupun beliau sangat pandai tapi beliau belum merealisasi Dhamma Mulia (pencerahan). Akhirnya beliau memutuskan untuk berlatih meditasi vipassanā.
Beliau
pergi ke suatu vihara di mana terdapat 30 orang Arahat untuk
belajar meditasi. Sesampai di sana, beliau menghadap kepada bhikkhu
paling senior dan memintanya untuk mengajarinya meditasi vipassanā.
Namun beliau ditolak dan diminta untuk pergi ke bhikkhu senior
berikutnya (yang ke 2), beliau pun ditolak dan diminta untuk pergi ke
bhikkhu senior berikutnya (yang ke 3). Beliau terus ditolak dan
akhirnya beliau menghadap kepada Arahat yang terakhir, yaitu seorang
samanera. Beliau ditolak karena statusnya sebagai seorang bhikkhu
yang terkenal sangat pandai, beliau mempunyai kesombongan yang cukup tinggi.
Samanera
tersebut kemudian berkata, Anda adalah bhikkhu yang sangat pandai,
seharusnya sayalah yang belajar dari Anda. Tetapi bhikkhu Pothila memohon
agar samanera tersebut bersedia mengajarinya meditasi vipassanā.
Samanera tersebut bersedia asal beliau mau menuruti semua yang
diinstruksikannya. Kemudian, sang samanera memberikan ilustrasi cara
menangkap kadal yang berada di sarang rayap yang mempunyai 6 lubang.
Bila lubang-lubang itu tidak ditutup, maka kadal tersebut akan mudah
melarikan diri. Maka untuk memudahkan menangkap kadal tersebut, 5 lubang
harus ditutup dan disisakan 1 lubang saja. Kelima lubang tersebut
bagaikan kelima pintu indera yang berada pada jasmani yogi dan kadal
bagaikan pikiran yang selalu mengembara/liar.
Begitu juga dengan
yogi, ia harus menutup lima pintu kesadaran inderanya, yaitu pintu
kesadaran indera mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh/badan. Yang
dimaksud dengan menutupnya adalah selalu berperhatian penuh (mengamati
dan mencatatnya) pada semua proses yang terjadi pada kelima pintu indera
tersebut. Pada pintu indera mata, terjadi kesadaran mata, di mana mata
melihat objek. Saat hal ini terjadi, yogi harus mengamati dan
mencatatnya
sebagai melihat, melihat, melihat.
Begitu juga saat telinga mendengar
suara, hidung mencium bau, lidah mengecap rasa, dan tubuh merasakan
objek sentuhan, semua itu harus diamati dan dicatat. Bila hal ini dapat
dilakukan, maka timbulnya kekotoran batin (kilesa) dapat dicegah. Yogi
akan dapat menangkap semua proses yang terjadi dan hanya dengan cara
inilah yogi akan dapat mengerti fenomena alami yang sebenarnya.
Anda
harus pandai untuk dapat menangkap kadal tersebut, harus ditangkap
lehernya. Bila yang ditangkap adalah buntutnya, maka kadal itu mungkin
akan berbalik dan menggigit Anda. Begitu juga dengan yogi, ia harus
melakukan pengamatan dan pencatatan yang sinkron dengan objek yang
diperhatikannya. Bila tidak, kekotoran mental akan menggangunya. Jadi,
yogi harus selalu berperhatian penuh. Bhikkhu Pothila adalah seorang
yang cerdas, dapat memahami petunjuk cara menangkap seekor kadal dan
berlatih dengan mengikuti instruksi yang diberikan, beliau dengan cepat mencapai tingkat kesucian Arahat.
Sayadaw
berharap semua yogi dapat mengerti ilustrasi menangkap kadal ini dan
dapat berlatih dengan baik serta selalu berperhatian penuh pada kelima
pintu kesadaran indera ini. Sehingga para yogi dapat mencapai
pengetahuan pandangan terang dan akhirnya merealisasi Magga, Phala, dan
Nibbāna.
Sayadaw U Sasana
Dikutip oleh: U Sikkhānanda (Andi Kusnadi)